Kebun binatang sejatinya bukanlah tempat menonton satwa, tetapi justru mengembangbiakan satwa langka di luar habitat aslinya.
Serangkaian foto itu membuat pengguna akun media
sosial (twitter, facebook, instagram, path) merasa sesak di dada.
Harimau sumatra, kucing besar langka di negeri ini, terlihat tak
berdaya. Satwa yang di habitat alaminya menjadi penguasa rimba itu
bertubuh kuyu dan kurus. Ia menjadi salah satu satwa yang tinggal di
kandang Kebun Binatang Surabaya di Jawa Timur.
Pengelolaan Kebun Binatang Surabaya pun menjadi sorotan. Pada tahun
2010, Kementerian Kehutanan pernah mencabut izin pengelolaan lantaran
kebun bintang tersangkut masalah kematian sejumlah satwa, termasuk
harimau sumatra.
Boleh jadi persoalan kebun binatang di Surabaya itu menjadi puncak
gunung es bagi pengelolaan satwa di luar habitat alaminya. Memang, bukan
perkara mudah untuk mengurus satwa yang seharusnya berada di rumah
aslinya alias hutan hujan tropis Nusantara.
Usaha penangkaran di luar habitat dan rehabilitasi satwa telah
dilakukan sejak lama. Hal ini dilakukan seiring dengan kawasan hutan
Indonesia yang semakin menyusut. Dari luas total 120,35 juta hektare,
hampir separuh hutan Indonesia mengalami kerusakan atau tak dapat
berfungsi optimal. Pada 2001 – 2006 tercatat hutan Indonesia menyusut 13
kali lapangan sepakbola per menit.
Karena hutan terus menyusut, pusat rehabilitasi, lembaga konservasi
dan pusat penyelamat satwa di Indonesia bergulat mengatasi berbagai
masalah menyelamatkan satwa. Mereka bekerja keras untuk menelurkan cara
dan metodologi yang tepat agar satwa dilindungi yang pernah dipelihara
maupun satwa hasil pengembangbiakan dapat dilepasliarkan ke habitat
asli.
Taman Margastwa Ragunan (TMR) di Jakarta, misalnya. Mereka bertugas
mengembangbiakan satwa dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya.
Ketika satwa berhasil dibiakkan, masalah kembali menghadang. Mereka tak
dapat melepasliarkan satwa ke habitat asli.
“Biayanya cukup mahal dan harus mendapat persetujuan dari Dephut,”
ujar Titisari Puntorini dari TMR dalam sebuah kesempatan. Kelebihan
populasi itu terjadi pada jenis banteng, rusa Timor, dan komodo.
Satwa-satwa yang batal dilepasliar tersebut tentu menambah beban bagi
TMR. Walaupun pemeliharaan kelebihan populasi itu masih dapat ditangani
– memakai anggaran yang diberikan pemerintah daerah DKI Jakarta,
pemilik TMR, sebesar Rp30 miliar per tahun, namun TMR tidak dapat
memenuhi kebutuhan pembangunan kandang.
Sejak 2003, dana pembangunan itu dihentikan lantaran DPRD DKI Jakarta
tidak menyetujuinya. Mereka diminta bekerja sama dengan masyarakat atau
pihak swasta. Sebagai contoh, pembangunan Pusat Primata Schmutzer.
Beban itu nampaknya memang harus ditanggung. Sebagai lembaga
konservasi, TMR tidak dibenarkan melakukan perdagangan satwa. Mereka
hanya diperkenankan menukar satwa dengan kebun binatang lain.
Untuk beberapa jenis dilindungi, bahkan harus mendapatkan persetujuan
kepala negara. Karena kewalahan menampung satwa, mereka enggan menerima
satwa bekas peliharaan manusia. “Lebih baik diserahkan kepada BKSDA
saja,” tegas Titisari.
Karena kebun binatang mengalami kerepotan menangani satwa,
Kementerian Kehutanan bersama mitra – LSM dan Kepolisian mendirikan
Pusat Penyelamatan Satwa di beberapa daerah pada 2000. Fungsinya, untuk
menampung satwa liar dilindungi hasil upaya penegakan hukum – demi
menekan perdagangan satwa liar dilindungi yang marak di Indonesia.
Namun, lantaran ada persoalan pengelolaan, pusat satwa tak lagi
terdengar kiprah mereka. Dan, kini kita pun kembali bertanya bagaimana
dengan masa depan satwa asli dan langka Nusantara? Apakah kita hanya
mampu merenungi nasib mereka?
Sumber: NatGeo Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar